15 Juni 2011
“Sampai ketemu lagi, Sayang,” ucap Dewa kepada perempuan cantik yang sedang terbaring di atas kasur. Ia berjalan ke arah pintu sembari merapikan kemeja kotak-kotak hitam putihnya yang sedikit kusut dan berantakan. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, ditatapnya perempuan itu untuk terakhir kalinya. Senyum yang terkembang, mata yang berbinar, dan sebuah jempol yang teracung adalah pemandangan terakhir yang diberikannya kepada perempuan dan seisi kamar itu.
***
“Sayang, kapan kamu datang ke sini?” tanya Siera manja. “Katanya mau meluk aku, katanya mau cium aku?”
“Iya, Sayang. Sabar ya, aku pasti datang ke sana kok. Pasti.” janji Dewa lewat telepon.
“Janji ya. Aku malu kalau temen nanya kita udah pernah ketemu atau belum,” suara Siera konsisten, manja. Dengan nada-nada seperti inilah yang kerap didengar Dewa setiap kali mereka berkomunikasi lewat telepon.
“Hahaha, jadi kamu mau ketemu aku hanya karena itu?”
“Ngga juga, idih, kan tadi aku udah bilang, aku pengen dipeluk kamu,” cekikikan malu-malu Siera sampai ditelinga Dewa.
“Iya, aku pasti datang ke sana. Aku pasti meluk kamu sampai remuk,”
“Ih, Sayang. Aku mikirin kamu aja udah remuk, jangan buat aku remuk lagi dong. Haha.”
“Gombal.”
***
“Sayang, aku sudah di depan rumah kamu nih,”
Siera kaget, antara senang dan tidak percaya karena Dewa datang tanpa pemberitahuan. Apa dia sengaja ingin memberiku surprise? Siera membatin. Tanpa pikir panjang Siera berlari ke arah jendela yang menghadap pagar. Ia melihat sosok pria dengan memakai kemeja kotak-kota hitam putih sedang berdiri gelisah, sosok pria yang dicintainya, dan sosok pria yang digilainya. Senyum sumringah pun lahir di wajahnya dan melesat keluar untuk menjumpai kekasih hatinya yang sudah lama menunggu di luar.
***
“Kamu sendirian tinggal di sini?”
“Iya, Sayang. Kenapa? Sepi ya?” terdengar Siera dan Dewa ngobrol panjang di ruang tamu.
“Haha, ngga kok. Malah aku suka. Aku ngga suka keramaian. Bikin emosi.”
“Aku senang, akhirnya kamu ada di sini. Aku bisa melihat kamu langsung,” jemari Siera sudah mendarat di pergelangan tangan Dewa. Senyum riang masih belum lepas dari wajah Siera.
Dewa tidak berkata-kata, hanya segera menggenggam jemari Siera yang tadi bergerak lincah di pergelangan tangannya.
***
Kamar Siera termasuk luas untuk ukuran yang ditempati seorang diri. Tapi khusus malam ini, Siera tidak akan sendirian.
“Sayang, ternyata kamu memang cantik,” Dewa membelai kening Siera yang sedang tidur-tiduran di kasur.
“Jadi selama ini kamu pikir aku jelek ya,” Siera merajuk, dan menjauhkan tangan Dewa yang membelai keningnya. Dewa segera menarik jari-jari yang menghalau tangannya, kemudian membawa tubuh Siera ke dalam pelukannya.
Jantung Siera berdetak sangat kencang, sudah lama dia ingin merasakan pelukan kekasihnya itu dan kinilah saatnya.
Dewa memeluk Siera erat. Erat sekali sampai Siera sulit bernafas. “Sa… yang…” Siera berbicara terbata-bata. Tangan kanan Dewa masih memeluk kencang tubuh perempuan itu, dan tangan kirinya lagi merogoh saku celananya. Dengan cepat sebuah benda kecil itu sudah ada di genggamannya.
“De… wa.. aku sulit… bernafas,”
Dewa menghunuskan berkali-kali benda kecil itu ke punggung Siera. Siera menggeliat kesakitan, tanpa sadar air matanya meluncur jatuh di atas pipi mulusnya. Senyum Siera sejak tadi pun musnah seketika.
Tusukan terakhir melesat di leher kiri perempuan itu. Siera tidak bergerak.
“Sampai ketemu lagi, Sayang,” ucap Dewa kepada perempuan cantik itu. Ia berjalan ke arah pintu sembari merapikan kemeja kotak-kotak hitam putihnya yang sedikit kusut dan berantakan. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, ditatapnya perempuan itu untuk terakhir kalinya. Senyum yang terkembang, mata yang berbinar, dan sebuah jempol yang teracung adalah pemandangan terakhir yang diberikannya kepada perempuan dan seisi kamar itu.
***
10 Februari 2011
“Dok, satu orang pasien kabur!” teriak seorang suster ketika memasuki ruangan dokter.
Terlalu pagi keadaan itu membuat panik seluruh isi rumah sakit jiwa.
***
Cinta memang GILA. GILA memang cinta.
Loketz Syair
“Sampai ketemu lagi, Sayang,” ucap Dewa kepada perempuan cantik yang sedang terbaring di atas kasur. Ia berjalan ke arah pintu sembari merapikan kemeja kotak-kotak hitam putihnya yang sedikit kusut dan berantakan. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, ditatapnya perempuan itu untuk terakhir kalinya. Senyum yang terkembang, mata yang berbinar, dan sebuah jempol yang teracung adalah pemandangan terakhir yang diberikannya kepada perempuan dan seisi kamar itu.
***
“Sayang, kapan kamu datang ke sini?” tanya Siera manja. “Katanya mau meluk aku, katanya mau cium aku?”
“Iya, Sayang. Sabar ya, aku pasti datang ke sana kok. Pasti.” janji Dewa lewat telepon.
“Janji ya. Aku malu kalau temen nanya kita udah pernah ketemu atau belum,” suara Siera konsisten, manja. Dengan nada-nada seperti inilah yang kerap didengar Dewa setiap kali mereka berkomunikasi lewat telepon.
“Hahaha, jadi kamu mau ketemu aku hanya karena itu?”
“Ngga juga, idih, kan tadi aku udah bilang, aku pengen dipeluk kamu,” cekikikan malu-malu Siera sampai ditelinga Dewa.
“Iya, aku pasti datang ke sana. Aku pasti meluk kamu sampai remuk,”
“Ih, Sayang. Aku mikirin kamu aja udah remuk, jangan buat aku remuk lagi dong. Haha.”
“Gombal.”
***
“Sayang, aku sudah di depan rumah kamu nih,”
Siera kaget, antara senang dan tidak percaya karena Dewa datang tanpa pemberitahuan. Apa dia sengaja ingin memberiku surprise? Siera membatin. Tanpa pikir panjang Siera berlari ke arah jendela yang menghadap pagar. Ia melihat sosok pria dengan memakai kemeja kotak-kota hitam putih sedang berdiri gelisah, sosok pria yang dicintainya, dan sosok pria yang digilainya. Senyum sumringah pun lahir di wajahnya dan melesat keluar untuk menjumpai kekasih hatinya yang sudah lama menunggu di luar.
***
“Kamu sendirian tinggal di sini?”
“Iya, Sayang. Kenapa? Sepi ya?” terdengar Siera dan Dewa ngobrol panjang di ruang tamu.
“Haha, ngga kok. Malah aku suka. Aku ngga suka keramaian. Bikin emosi.”
“Aku senang, akhirnya kamu ada di sini. Aku bisa melihat kamu langsung,” jemari Siera sudah mendarat di pergelangan tangan Dewa. Senyum riang masih belum lepas dari wajah Siera.
Dewa tidak berkata-kata, hanya segera menggenggam jemari Siera yang tadi bergerak lincah di pergelangan tangannya.
***
Kamar Siera termasuk luas untuk ukuran yang ditempati seorang diri. Tapi khusus malam ini, Siera tidak akan sendirian.
“Sayang, ternyata kamu memang cantik,” Dewa membelai kening Siera yang sedang tidur-tiduran di kasur.
“Jadi selama ini kamu pikir aku jelek ya,” Siera merajuk, dan menjauhkan tangan Dewa yang membelai keningnya. Dewa segera menarik jari-jari yang menghalau tangannya, kemudian membawa tubuh Siera ke dalam pelukannya.
Jantung Siera berdetak sangat kencang, sudah lama dia ingin merasakan pelukan kekasihnya itu dan kinilah saatnya.
Dewa memeluk Siera erat. Erat sekali sampai Siera sulit bernafas. “Sa… yang…” Siera berbicara terbata-bata. Tangan kanan Dewa masih memeluk kencang tubuh perempuan itu, dan tangan kirinya lagi merogoh saku celananya. Dengan cepat sebuah benda kecil itu sudah ada di genggamannya.
“De… wa.. aku sulit… bernafas,”
Dewa menghunuskan berkali-kali benda kecil itu ke punggung Siera. Siera menggeliat kesakitan, tanpa sadar air matanya meluncur jatuh di atas pipi mulusnya. Senyum Siera sejak tadi pun musnah seketika.
Tusukan terakhir melesat di leher kiri perempuan itu. Siera tidak bergerak.
“Sampai ketemu lagi, Sayang,” ucap Dewa kepada perempuan cantik itu. Ia berjalan ke arah pintu sembari merapikan kemeja kotak-kotak hitam putihnya yang sedikit kusut dan berantakan. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, ditatapnya perempuan itu untuk terakhir kalinya. Senyum yang terkembang, mata yang berbinar, dan sebuah jempol yang teracung adalah pemandangan terakhir yang diberikannya kepada perempuan dan seisi kamar itu.
***
10 Februari 2011
“Dok, satu orang pasien kabur!” teriak seorang suster ketika memasuki ruangan dokter.
Terlalu pagi keadaan itu membuat panik seluruh isi rumah sakit jiwa.
***
Cinta memang GILA. GILA memang cinta.
Loketz Syair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa berbagi ya sob