Sejak kutemukan diriku bukan lagi cokelat, sawo matang, rambut hitam.
Aku malu pada bukit buku-buku dan tropi di mejaku
Sejak kujumpai bocah kumal kepanasan di tepi-tepi jalan.
Sekitarku: doa menjadi harapan yang ditulis rapi
Dan dalam saku celanaku, janji dan bualan sekedar pemanis hidup
Sembari mengulang-ulang kemesraan di sudut kamar
Aku makin malu pada mereka,
Yang masih sempat tersenyum
Meski jiwa dan lolongan mereka melebihi derik jangkrik di kampungku
Meski tangisan mereka tak semerdu nyanyian burung pipit,
Barangkali sayap-sayap mereka yang rontok tak lebih berarti
Daripada perut yang menggelinjang kesakitan
Karena selama 24 jam, hanya sekali makan, itupun sisa jilatan anjing dan tikus-tikus got
Aku malu pada wajah negeriku,
Yang berabad-abad dijajah tapi berani berlapang dada
Begitulah, kiranya negeriku yang lapang kian jadi ladang bangga
Loketz Syair
Yang masih sempat tersenyum
Meski jiwa dan lolongan mereka melebihi derik jangkrik di kampungku
Meski tangisan mereka tak semerdu nyanyian burung pipit,
Barangkali sayap-sayap mereka yang rontok tak lebih berarti
Daripada perut yang menggelinjang kesakitan
Karena selama 24 jam, hanya sekali makan, itupun sisa jilatan anjing dan tikus-tikus got
Aku malu pada wajah negeriku,
Yang berabad-abad dijajah tapi berani berlapang dada
Begitulah, kiranya negeriku yang lapang kian jadi ladang bangga
Loketz Syair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa berbagi ya sob