Entah mengapa saat itu aku tidak mampu menguasai amarahku, mungkin ada
sebagian kata-kataku yang mampu menyakiti hatimu, kadang aku khilaf
mencela dirimu, kadang ada saat aku ingin menyakiti dirimu. Namun
diam-mu membuat diriku pun terdiam, tanpa sepatah kata pun engkau duduk
di hadapanku dan menunduk, sesekali engkau menatapku dengan pancaran
kasih sayang yang tulus. Wahai istriku, apa yang telah menguasai hatiku?
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Sungguh apa yang telah terlintas dalam hatiku, mungkin permintaan maaf
tak akan mampu menebus kesalahanku, namun demi melihat senyuman itu
mengembang aku terlempar ke dalam lubang rasa bersalah yang terdalam,
wahai istriku, betapa kemuliaan akhlakmu telah memukau diriku.
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Dengan sabar engkau menerima setiap kata-kata yang aku ucapkan, tidak
tersirat sedikitpun kebencian di wajahmu terhadap diriku, betapa
gelas-gelas kaca ini begitu mudah rapuh, retak dan pecah jika engkau tak
bersabar merawatnya. Mungkin tak pernah aku menyadari engkau telah
merawatnya dengan hati yang tabah dan penuh kesabaran, namun aku melihat
betapa saat itu aku merasa kecil dan tak berarti dihadapanmu…
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Diam-mu telah meredakan amarahku, lidah ini tercekat melihat kesabaranmu
untuk duduk, diam dan menerima segala apa yang aku ucapkan, semoga
Allah Ta’ala memberkahimu wahai istriku, betapa diam itu telah menjadi
sebuah pedang yang tajam menusuk tepat pada keangkuhanku, menghancurkan
amarah ini dan membuat dirimu semakin berarti bagiku.
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Setelah aku terdiam engkau pegang tanganku dengan kelembutan sifat
wanitamu, dengan teduh engkau menatap mataku dan suaramu menenangkan
hatiku, “Wahai suamiku, maafkanlah aku atas segala kesalahanku, aku
hanyalah wanita lemah yang kadang salah dan selalu memohon ampunan-Nya,
maka maafkanlah aku karena Allah Ta’ala, sebagaimana engkau mencintai
aku karena Allah Ta’ala.”
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
“Wahai suamiku, api amarah itu berasal dari syaithan, maka padamkanlah
dengan wudhu, engkau lebih mengetahuinya daripada aku, maka duduklah
sejenak dan perkenankan aku menyiapkan air wudhu untukmu..!”
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim, apa yang telah aku lakukan
kepadamu wahai istriku, mengapa aku terlena dengan bujukan syaithan?
Bukankah engkau telah berusaha sebaik mungkin mentaati aku dengan segala
kemampuanmu, air mataku menetes demi melihat kebodohanku, tak mampu
lagi aku mengangkat wajahku, betapa malunya diri ini di hadapanmu.
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Dan saat kau datang membawa air wudhu itu, senyummu mengembang seindah
pertama kali aku melihatmu, tidak tampak sedikitpun kau ingin membalas
celaan yang tadi aku lontarkan, mungkin engkau menahannya dengan begitu
baik dalam dirimu, lalu kenapa aku tidak mampu melakukannya sebaik
dirimu?
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Engkau letakkan air wudhu itu dihadapanku, dan kau genggam erat tanganku
yang gemetar, dengan kelembutan kasihmu kau usap air mata ini. Wahai
istriku, betapa kelembutan dirimu dan kemuliaan akhlakmu membenamkan
amarah ini. Wahai istriku maafkanlah kekhilafan yang telah aku lakukan
dengan dholim kepadamu.
(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Adzan telah berkumandang, sirna sudah segala amarah dalam diri, seakan
tak pernah terjadi apapun engkau siapkan keperluanku untuk sholat, wahai
istriku… betapa aku beruntung telah memilikimu(¯`•.¸ღ ღ¸.•´¯)*•♫♥♥
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "MAAFKAN KHILAFKU WAHAI ISTRIKU"
Posting Komentar